PPh Orang Pribadi



5.1  Konsep Dasar PPh wajib pajak orang pribadi ( WPOP )
 Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) adalah Orang Pribadi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa penghasilan merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Dalam konteks orang pribadi, penghasilan dapat berasal kegiatan usaha, pekerjaan bebas ataupun penghasilan-penghasilan lainnya.
Dalam hal orang pribadi menjalankan kegiatan usaha dan melaksanakan pembukuan, penghasilan neto dihitung dengan mengurangkan peredaran usaha dengan harga pokok penjualan dan biaya usaha. Penghasilan neto dari kegiatan usaha selanjutnya akan dilakukan beberapa penyesuaian fiskal baik positif maupun negatif. Penyesuaian ini adalah penyesuaian penghasilan neto komersial dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan beserta peraturan pelaksanaannya, yang dapat bersifat menambah maupun mengurangi penghasilan kena pajak.
Dalam hal wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas namun peredaran usahanya atau peredaran brutonya kurang dari Rp4,8 miliar setahun maka Wajib Pajak dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Selain itu Wajib Pajak yang memiliki pekerjaan bebas seperti dokter, pengacara, notaris, akuntan, konsultan, penilai, aktuaris dan arsitek juga wajib melaporkan penghasilan brutonya dan Pajak Penghasilannya.
Kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan sistem self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri, melakukan sendiri penghitungan pembayaran dan pelaporan pajak terutangnya.
Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Wajib Pajak Orang Pribadi yang wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP adalah :
a.       Orang Pribadi yang menjalakan usaha atau pekerjaan bebas;
b.      Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, yang memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya;
c.       Wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta;
d.      Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
e.       Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi kedudukan wajib pajak dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi. Selain mendatangi Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak Orang Pribadi dapat pula mendaftarkan diri secara online melalui e-registration di website Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id. Selain mendapatkan NPWP, Wajib Pajak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan kepadanya akan diberikan Nomor Pengkuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).

5.2  Dasar Hukum PPh WPOP

1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
2. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Atau Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa Dan Kegiatan Orang Pribadi.

5.3 Jenis – Jenis PPh WPOP
Berdasarkan penghasilan yang diterima oleh orang pribadi, maka wajib pajak orang pribadi dapat dibagi menjadi :
a.  Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari pekerjaan
Contoh : Pegawai swasta, Pegawai BUMN dan PNS.
b.  Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari Usaha.
Contoh : Pengusaha toko emas, Pengusaha Industri Mie Kering
c.  Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari Pekerjaan bebas.
Contoh : Dokter, Notaris, Akuntan, Konsultan
d. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan lain yang tidak bersifat final (sehubungan dengan pemodalan).
Contoh : Bunga pinjaman, royalti, sewa (yang bukan usaha pokoknya)
e.  Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang bersifat final.
Contoh : Bunga deposito, hadiah undian.
f.   Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang bukan objek pajak.
Contoh : bantuan, sumbangan
g.  Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar negeri.
Contoh : bunga, royalti dari luar negeri (PPh Pasal 24)
h.  Wajib pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari berbagai sumber.
Contoh : Pegawai swasta tetapi juga mempunyai usaha rumah makan, PNS tetapi membuka praktek dokter.


5.4 Perbedaan PPh WPOP yang melakukan usaha dan yang tidak melakukan usaha/ pekerjaan

1.                  Kewajiban Pajak Bagi Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
a)      WPOP Karyawan yang hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (berstatus sebagai karyawan) dan hanya bekerja pada satu pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk membayar pajak sendiri setiap bulan atas penghasilan yang diterima/ diperoleh seubungan dengan pekerjaan. WP Orang Pribadi ini juga tidak memiliki kewajiban untuk membuat laporan (Surat Pemberitahuan Masa) ke Kantor Pelayanan Pajak setiap bulan.
Perusahaan tempat wajib pajak bekerja (pemberi kerja) memiliki kewajiban untuk memotong pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan yang dibayarkan/terutang kepada
karyawannya setiap bulan dan menyetorkannya ke Kas Negar serta melaporkannya ke kantor pelayanan pajak setempat. Oleh karena itu gaji yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi yang berstatus sebagai karyawan adalah gaji bersih setelah dipotong pajak penghasilan. Pajak yang terutang atas Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dikenal dengan istilah PPh Pasal 21.
Kewajiban yang harus dilakukan oleh WPOP yang berstatus sebagai karyawan adalah menyampaikan laporan tahunan (menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi) dengan formulir yang telah disediakan. (Form 1770-S). Apabila wajib pajak orang pribadi ini tidak menerima/memperoleh penghasilan lain selain dari penghasilan yang diperoleh dari satu pemberi kerja, maka pada saat menyampaikan SPT Tahunan tidak akan terdapat PPh yang kurang dibayar. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini paling lambat harus dilaporkan paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak (pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya). Jika Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT 1770-S tersebut maka akan dikenakan sanksi administrasi atas keterlambatan sebesar Rp 100.000,-. Besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT PPh OP ini dalam RUU Pajak th 2005 diusulkan menjadi sebesar Rp 250.000,-
Bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar, atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara diancam dengan sanksi pidana dan denda. Bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar karena kealpaannya, diancam dengan sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Sementara bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan atau menyampaikan surat pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugaian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama enam (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

b) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang bukan obyek PPh Final.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain selain dari satu pemberi kerja, baik karena bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja maupun memiliki penghasilan lain selain dari pekerjaan dan penghasilan lain tsb bukan merupakan obyek PPh final, maka selain diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh pasal 25 setiap bulan.
Besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib pajak dihitung berdasarkan PPh yang terutang dalam SPT Tahunan tahun sebelumnya setelah dikurangi dengan pemotongan yang dilakukan pihak lain yang dapat dikreditkan dan dibagi 12 (dua belas).
Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 25 adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Jika jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pembayaran Angsuran PPh pasal 25 ini, wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Apabila jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 25 harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Apabila wajib pajak terlambat melakukan pembayaran PPh pasal 25, maka akan dikenakan sanksi bunga sebesar 2%/bulan, maksimum 24 bulan (48%). Sedangkan atas keterlambatan
penyampaian SPT Masa PPh 25 akan dikenakan sanksi sebesar Rp50.000/ SPT Masa. Seperti halnya dengan sanksi keterlambatan penyampaian SPT Tahunan, dalam RUU Perpajakan th 2005 besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT masa diusulkan
menjadi sebesar Rp 100.000,-/ SPT Masa.



c) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang merupakan obyek PPh Final.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain selain dari satu pemberi kerja, dan memiliki penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final, maka selain diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal 4 (2).
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib pajak) adalah sebagai berikut :
- Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
WPOP Karyawan yang menerima/memperoleh penghasilan daritransaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan membayar PPh final pasal 4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi pegalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini adalah sebesar 5% dari nilai yang tertinggi antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan nilai NJOP.
- Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang dierima/diperoleh oleh WPOP karyawan dari kegiatan persewaan tanah dan  atau bangunan juga merupakan obyek PPh final pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan. Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka pelunasan PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima penghasilan) .
Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
- Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ;
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP Karyawan dari kegiatan Jasa Konstruksi (sebagai usaha sampingan misalnya), Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong pajak, maka PPh-nya wajib dibayar sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong pajak (Pemakai jasa) wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh final pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :
a) Jasa Perencanaan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari jumlah bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi ==> 2% (dua persen) dari jumlah bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari jumlah bruto.


2.      Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas.
Bagi wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha atau pekerjaan bebas, setelah terdaftar di kantor pelayanan  pajak dan memperoleh NPWP maka akan memiliki kewajiban pajak yang harus dilaksanakan. Wajib Pajak Orang Pribadi yang  melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja selain diwajibkan untuk membayar dan melaporkan pajak yang  terutang atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan dan melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada karyawannya. 
Dalam hal WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas telah dikukuhkan sebagai Pengusaha kena pajak juga memiliki kewajiban dibidang PPN. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang telah ditunjuk oleh dirjen pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23 dan PPh Final pasal 4 (2), juga memiliki kewajiban dibidang PPh 23 dan PPh Final Pasal 4 (2).  Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak Orang Pribadi yang melakukann kegiatan usaha/pekerjaan bebas setelah memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :

1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)
Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka memiliki kewajiban  untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa/ bulanan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar. Jenis SPT Masa yang harus disampaikan oleh wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas terdiri dari :
a.       SPT Masa PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang dapat dikreditkan; dibagi 12 (dua belas) .
Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan (Wajib Pajak baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas). 
Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15 bulan berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur, maka pembayaran Ph Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Apabila tanggal 20 jatuh pada hari  libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari- hari yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh pemerintah.

Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT Masa PPh Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah satu SPT Masa yang wajib disampaikan oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas, meskipun tidak terdapat pembayaran (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan sanksi  berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.

b. SPT Masa PPh Pasal 21/26
PPh pasal 21/26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-undang PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan dilaporkan oleh pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara kegiatan.
Wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan  nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi; wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26. Batas  waktu penyetoran PPh Pasal 21/26 adalah tanggal 10 bulan berikutnya, namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 21/26 harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPh Pasal 21/26 juga merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh WajibPajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas meskipun tidak terdapat penyetoran PPh Pasal 21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26, maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk satu SPT Masa. Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal
26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No KEP- 545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

c. SPT Masa PPN
Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta menyampaikan SPT Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah setiap tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPN adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Seperti halnya pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran PPN jatuh pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas waktu pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPN wajib dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meskipun Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPN maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.
Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak PPN dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
b.   Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

Ketentuan mengenai PPN diatur dalam Undang-undang no 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta peraturan pelaksanaannya.
d. SPT Masa PPh Pasal 23/26
Direktur Jenderal Pajak dapat menunjuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23. Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu tersebut terdiri dari :
1. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
2. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu tersebut diatas yang telah ditunjuk Dirjen Pajak, akan mendapatkan surat Penunjukan Sebagai Pemotong PPh Pasal 23 dari Kantor Pelayanan Pajak tempat WP teraftar. WPOP tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh 23, Wajib memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa. Apabila terdapat pembayaran/pembebanan biaya berupa sewa, maka WPOP tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh 23 oleh Dirjen pajak, diwajibkan untuk memotong, menyetor dan melaporkan PPh 23 yang terutang atas pembayaran sewa tersebut.
Sesuai dengan ketentuan pasal 26 undang-undang PPh, atas penghasilan berupa :
a. Deviden;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya ; yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan. Apabila WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas melakukan transaksi dengan wajib pajak luar negeri sehubungan dengan penghasilan tersebut diatas maka memiliki kewajiban untuk memotong, menyetor dan
melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 26).

Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh adalah tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan berikutnya. Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal 23/26 jatuh pada hari libur maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Namun apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka laporan harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP apabila terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26. Dengan demikian tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.
e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)
1) PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib pajak sendiri
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang memperoleh penghasilan yang merupakan obyek PPh final, maka diwajibkan untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal 4 (2) yang tertuang atas penghasilan tersebut.
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib pajak) adalah sebagai berikut :
- Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
WPOP yang menerima/memperoleh penghasilan dari transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan membayar PPh final pasal 4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi pegalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini adalah sebesar 5% dari nilai yang tertinggi antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan nilai NJOP.
- Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan.
Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka pelunasan PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final pasal 4 (2) kepada wajib pajak (penerima penghasilan) .
Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.

- Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan Jasa Konstruksi, PPh yang terutang atas penghasilan tersebut wajib dibayar sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong pajak (Pemakai jasa) wajib memberikan  bukti potong. Besarnya PPh final pasal 4 ayat (2) yang terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :
1.  4% (empat persen) dari
èa) Jasa Perencanaan Konstruksi jumlah bruto;
2.  2% (dua persen) dari
èb) Jasa Pelaksanaan Konstruksi  jumlah bruto;
3.  4% (empat persen) dari
èc) Jasa Pengawasan Konstruksi  jumlah bruto.

2)  PPh final atas penghasilan yang terutang/dibayarkan kepada pihak lain.
Dirjen Pajak dapat menunjuk Wajib pajak Orang Pribadi tertentu sebagai pemotong PPh Final Pasal 4 (2) atas transaksi persewaan Tanah dan atau bangunan. Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang dapat ditunjuk sebagai pemotong PPh atas transaksi persewaan tanah dan atau bangunan oleh DJP adalah:
·         Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri,
·         Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

WPOP tertentu yang telah mendapat surat penunjukan sebagai pemotong Pajak atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan dari KPP tempat WP terdaftar memiliki kewajiban untuk memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh final atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan yang dibayarkan atau terutang kepada pihak lain. PPh yang terutang atas transaksi persewaan tanah dan bangunan tersebut, wajib disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak tempat Wajib pajak (pemotong) terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak apabila terdapat transaksi yang berhubungan dengan obyek PPh final, sehingga tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)
a.       SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1770)
Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak diwajibkan untuk menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Orang Pribadi – SPT 1770). SPT Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak/tahun buku. Apabila tahun buku sama dengan tahun takwim maka SPT Tahunan wajib disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya. 
Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib Pajak adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
·         Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
·         Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak;
·         Harta dan kewajiban;

b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)
Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (SPT 1770), Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas selaku pemotong PPh pasal 21 juga  diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 21. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.
Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat -lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. Batas waktu pelaporan ini berlaku juga bagi wajib pajak yang tahun bukunya berbeda dengan tahun takwim.

5.5 Pengertian pembukuan, dan norma perhitungan penghasilan neto
            Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. Pencatatan yaitu pengumpulan data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
A.    Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan
1.       Wajib Pajak (WP) Badan;
2.      Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (Empat milyar delapan ratus juta rupiah).
B. Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah), dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
C. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
D. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pencatatan
1. Pencatatan harus menggambarkan antara lain :
a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh;
b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
2. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.
3. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP orang pribadi harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.
E. Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
Tujuannya adalah untuk mempermudah:
1. Pengisian SPT;
2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
3. Penghitungan PPN dan PPnBM;
4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.
F. Pembukuan Dalam Bahasa Asing Dan Mata Uang Selain Rupiah
Wajib Pajak yang diperkenankan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah yaitu bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat adalah :
1. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan ketentuan Peraturan perundang-undangan Penanaman Modal Asing;
2. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah RI sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan Pertambangan selain pertambangan minyak dan gas bumi;
3. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi;
4. Bentuk Usaha Tetap, yaitu bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang terkait;
5. Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
6. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana dalam denominasi mata uang Dollar Amerikat Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawasa Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal;
7. Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b Undang- Undang Pajak Penghasilan.
G. Tata Cara Pengajuan Penyelenggaraan Pembukuan Dalam Bahasa Asing Dan Mata Uang Selain Rupiah
Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat oleh WP harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan, kecuali WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama. Izin tertulis dapat diperoleh WP dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah, paling lambat 3 (tiga) bulan :
1. Sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satauan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai;
2. Sejak tanggal pendirian bagi WP baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak pertama.

Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan dari WP diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah belum memberikan keputusan maka permohonan WP tersebut dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan pemberian izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uangan Dollar Amerika Serikat.
WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang sejak pendiriannya maupun yang akan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pendirian (bagi WP yang sudah menyelenggarakan sejak pendiriannya) atau 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai (bagi WP yang belum menyelenggarakan sejak pendiriannya).
WP yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat namun merencanakan untuk tidak memanfaatkan izin tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan pembatalan secara tertulis ke KPP dalam hal Tahun Pajak sebagaimana tercantum dalam surat izin belum dimulai dan pemberitahuan tersebut harus sudah diterima oleh KPP sebelum Tahun Pajak tersebut dimulai.
Apabila penyelenggaraan pembukuan tersebut sudah dimulai, maka wajib mengajukan permohonan pembatalan secara tertulis ke KPP paling lama 3 (tiga) bulan setelah tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai. Bagi WP Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang telah memberitahukan ke KPP untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, namun WP tersebut akan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata Rupiah, wajib mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah paling lama 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata uang Rupiah tersebut dimulai.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan pembatalan penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan dari WP diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah belum memberikan keputusan, maka permohonan dianggap diterima. WP yang mengajukan permohonan tersebut tidak diperbolehkan lagi menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak izin tersebut dicabut.
H. Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. Perubahan Tahun Buku Dan Metode Pembukuan Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
Norma perhitungan penghasilan neto
Dasar Hukumnya yaitu :
  1. Pasal 14 UU Nomor 36 Tahun 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
  2. KEP-536/PJ/2000 (berlaku sejak tahun pajak 2001) tentang Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) untuk Wajib Pajak (WP) yang dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan
  3. PER-4/PJ/2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang petunjuk pelaksanaan pencatatan bagi WP Orang Pribadi (OP)
Besarnya Norma
  1. Norma yang digunakan adalah norma berdasarkan kota wilayah usaha
  2. Yang dimaksud 10 ibukota propinsi: Medan, Jakarta, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Manado, Makassar, Denpasar, Pontianak.
  3. Kota propinsi lainnya adalah ibukota propinsi selain 10 yang disebutkan.
  4. Daerah lainnya adalah daerah selain yang dimaksud diatas.
Yang Dapat Menggunakan Norma Penghitungan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 14 ayat (2) UU PPh)
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila WP menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Kewajiban :
  1. Menyampaikan surat perberitahuan penggunaan norma kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. (Pasal 14 ayat (2) UU PPh). Bagi yang tidak menyampaikan dianggap memilih menggunakan pembukuan. (UU PPh Pasal 14 ayat 4).
  2. Menyelenggarakan pencatatan Peredaran Usaha sesuai format Lampiran I PER-4/PJ/2009.
Sanksi Menggunakan Norma Penghitungan Tanpa Pemberitahuan
Bagi yang tetap menggunakan Norma padahal tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Penggunaan Norma dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan. Pasal 3 ayat 2 KEP-536/PJ./2000.

Norma Petugas Dinas Luar Asuransi, Distributor MLM/Direct Selling
  1. Petugas dinas luar asuransi = norma untuk pekerjaan bebas bidang profesi lainnya
    1. 10 ibukota pripinsi = 50%
    2. Kota propinsi lainnya = 47,5 %
    3. Daerah lainnya = 45%
  2. Distributor perusahaan MLM/direct selling diklasifikasikan menjadi 2 jenis :
    1. penghasilan atas penjualan barang = norma untuk Pedagang eceran barang hasil indistri pengolahan.
      • 10 ibukota pripinsi = 30%
      • Kota propinsi lainnya = 25 %
      • Daerah lainnya = 20%
    2. penghasilan atas pengembangan jaringan : Pekerjaan bebas bidang profesi lainnya.
      • 10 ibukota pripinsi = 50%
      • Kota propinsi lainnya = 47,5 %
      • Daerah lainnya = 45%
5.6 Pengertian laporan keuangan dan koreksi fiscal
Laporan keuangan adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan tersebut. Laporan keuangan adalah bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi :
Koreksi Fiskal Untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda,  melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih dahulu harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal. Koreksi fiskal meliputi pengakuan pendapatan dan biaya yang dapat berupa koreksi positif dan koreksi negatif.
v  Koreksi Fiskal Positif
Koreksi Fiskal Positif adalah koreksi/penyesuaian yang akan mengakibatkan meningkatnya laba kena pajak yang pada akhirnya akan membuat PPh Badan Terhutangnya juga akan meningkat.
Koreksi fiskal positif diantaranya:
a. Biaya yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha perusahaan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara pendapatan
b. Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang PKP
c. Biaya yang diakui lebih kecil, seperti penyusutan, amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan menurut WP lebih tinggi
d. Biaya yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
e. Biaya yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final
v  Koreksi Fiskal Negatif
adalah koreksi/penyesuaian yang akan mengakibatkan menurunnya laba kena pajak yang membuat PPh badan terhutangnya juga akan menurrun.
Koreksi fiskal negatif diantaranya :
a. Biaya yang diakui lebih besar, seperti penyusutan menurut WP lebih rendah, selisih amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan pengakuannya
b. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
c. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final
Perbedaan Koreksi Fiskal Menurut PSAK dan UU Pajak :
Terdapat perbedaan dalam perlakuan penetapan pendapatan dan biaya menurut Undang-Undang Perpajakan Nomor 17 Tahun 2000 dengan Standar Akuntansi Keuangan sebagai akibat dari adanya beda tetap dan beda sementara; perlakuan akuntansi terhadap perbedaan tersebut perlu dilakukan rekonsiliasi antara laporan keuangan komersil dengan laporan keuangan fiskal; dan pengaruh perbedaan tersebut terhadap laporan keuangan yaitu pada besarnya jumlah pajak terutang dan jumlah laba usaha.
A.  Beda Tetap
Bagi perusahaan: semua pemasukan adalah pendapatan yang akan menambah laba kena pajak , dan semua pengeluaran adalah beban yang akan mengurangi laba kena pajak.
Bagi Ditjend Pajak: tidak semua pemasukan adalah faktor penambah laba kena pajak, ada beberapa jenis pendapatan yang bukan merupakan faktor penambah laba kena pajak karena pendapatan tersebut sudah dikenakan pajak bersifat final, dan tidak semua pengeluaran adalah faktor pengurang laba kena pajak karena ada beberapa jenis pengeluaran yang sesungguhnya bukan merupakan bagian dari kegiatan perusahaan (sumbangan, entertain tanpa daftar normatif). Di dalam Akuntansi Perpajakan perbedaan ini disebut dengan BEDA TETAP (Permanent Difference).
B.     Beda Waktu/Beda Sementara
Perbedaan lainnya adalah perbedaan yang diakibatkan karena bedanya saat pengakuan (waktu pengakuan) baik itu terhadap pendapatan maupun beban (pendapatan/beban tangguhan), juga akibat perbedaan beban penyusutan dimana pihak Ditjend Pajak menggunakan metode penyusutan Garis Lurus (Straight Line Method) sementara perusahaan mungkin menggunakan metode penyusutan yang lain, yang oleh karenanya mengakibatkan adanya perbedaan alokasi beban penyusutan. Prakiraan Umur ekonomis atas aktiva tetap juga turut memberi kontribusi atas perbedaan tersebut. Dengan kata lain perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal. Dalam Akuntansi Perpajakan ini disebut dengan BEDA WAKTU (Time Difference).
5.7 Pengertian kredit pajak dan variable – variable dalam perhitungan PPh orang pribadi
Pengertian kredit pajak adalah memperhitungkan pajak penghasilan yang telah dibayar atau dipungut di muka dengan jumlah pajak yang terutang pada akhir tahun pajak. Sebagaimana telah diketahui, bahwa wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak pada saat penghasilan diperoleh atau diterima dan bersifat tidak final (dapat sebagai kredit pajak), terkait dengan PPh pasal 21, PPh pasal 22 dan PPh pasal 23.
Sedangkan segala bentuk penghasilan yang sudah dikenakan pajak yang bersifat final, tidak boleh diperlakukan sebagai kredit pajak. Demikian pula untuk pajak penghasilan yang dipungut atau dibayar di luar negeri oleh wajib pajak dalam negeri. Pajak penghasilan yang telah dipungut di luar negeri dapat dikurangkan dengan pajak penghasilan yang terhutang di Indonesia, bila telah ada perjanjian kerjasama timbal balik (tax treaty) di bidang perpajakan antara Indonesia dengan Negara lain. Bila belum ada perjanjian pajak, maka wajib pajak tidak dapat melakukan kredit pajak. Perhitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan terhadap pajak terutang atas seluruh penghasilan yang telah dipungut di luar negeri diatur dalam pasal 24.

DASAR HUKUM
1.      UU No. 6/1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 18/2009 (UU KUP).
2.      UU No. 7/1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 36/2008 (UU PPh).
3.      Keputusan Menteri Keuangan No.164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri

Perlakuan Dalam Praktek Berdasarkan pasal 24 ayat 1 dan ayat 2 UU PPh dinyatakan bahwa: 
a.    Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
b.   Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

Agar dapat melakukan kredit pajak dengan baik, ada baiknya kita perlu memperhatikan dasar pengakuan penghasilan. Dari dua ayat tadi kita dapat peroleh pengertian bahwa:
1. Penghasilan yang “diterima” mengindikasikan bahwa penghasilan diakui pada saat dibayar (cash basis), sedangkan penghasilan “diperoleh” menunjukkan penghasilan diakui pada saat terjadinya walaupun uang belum diterima (accrual basis). Pajak penghasilan di luar negeri ini bisa jadi telah dibayar (cash basis) atau belum dibayar atau terutang (accrual basis) oleh wajib pajak
2. Pajak yang telah dibayar atau terutang di luar negeri dapat digunakan sebagai pengurang (kredit pajak) pajak yang terutang atas seluruh penghasilan pada tahun pajak yang sama
3. Batas kredit ditentukan menurut undang-undang
4. Besarnya kredit pajak tidak boleh melebihi jumlah batas kredit pajak

Penggabungan Penghasilan 
            Wajib pajak menggabungkan (menjumlahkan) penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh didalam negeri, guna menentukan jumlah pajak penghasilan yang terutang pada tahun pajak berdasarkan tarif normal (pasal 17). Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan dengan ketentuan berikut :
a.       Untuk penghasilan dari usaha dilakukan penggabungan dengan penghasilan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut
b.      Untuk penghasilan lainnya dilakukan penggabungan dengan penghasilan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut
c.       Untuk penghasilan berupa dividen, dilakukan penggabungan dengan penghasilan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.
        
Indonesia menganut kredit pajak dengan metode ordinary credit. Kredit pajak luar negeri lebih lanjut diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 164/KMK.03/2002. Pajak penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak. Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut UU ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa Negara, maka pengitungan kredit pajak dilakukan untuk masing-masing Negara. Kredit pajak dihitung dengan perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan kena pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan kena pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena pajak dalam hal Penghasilan kena pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.

JENIS-JENIS KREDIT PAJAK yaitu :
1.      Kredit Pajak PPh Pasal 22.
2.      Kredit Pajak PPh Pasal 23.
3.      Kredit Pajak PPh Pasal 24.
4.      Kredit Pajak PPh Pasal 25.
5.      Pajak Dibayar Dimuka Lainnya






















REFRENSI :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materialitas dan Bukti Audit

Pengujian dalam Audit

Pembelajaran merarik dari anime Kuzu no Honkai (Scum's Wish)