PPh Orang Pribadi
5.1
Konsep Dasar PPh wajib pajak orang pribadi ( WPOP )
Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) adalah Orang Pribadi yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa penghasilan
merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apa pun. Dalam konteks orang pribadi, penghasilan dapat berasal kegiatan usaha,
pekerjaan bebas ataupun penghasilan-penghasilan lainnya.
Dalam hal orang pribadi menjalankan kegiatan usaha dan
melaksanakan pembukuan, penghasilan neto dihitung dengan mengurangkan peredaran
usaha dengan harga pokok penjualan dan biaya usaha. Penghasilan neto dari
kegiatan usaha selanjutnya akan dilakukan beberapa penyesuaian fiskal baik
positif maupun negatif. Penyesuaian ini adalah penyesuaian penghasilan neto
komersial dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan beserta peraturan
pelaksanaannya, yang dapat bersifat menambah maupun mengurangi penghasilan kena
pajak.
Dalam hal wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas namun peredaran usahanya atau peredaran brutonya kurang dari
Rp4,8 miliar setahun maka Wajib Pajak dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Selain itu Wajib Pajak yang
memiliki pekerjaan bebas seperti dokter, pengacara, notaris, akuntan,
konsultan, penilai, aktuaris dan arsitek juga wajib melaporkan penghasilan
brutonya dan Pajak Penghasilannya.
Kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan sistem self assessment, Wajib Pajak
mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri, melakukan sendiri penghitungan
pembayaran dan pelaporan pajak terutangnya.
Wajib Pajak mempunyai kewajiban
untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Wajib Pajak Orang Pribadi yang wajib mendaftarkan diri
untuk memperoleh NPWP adalah :
a.
Orang Pribadi yang menjalakan usaha atau pekerjaan bebas;
b.
Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, yang
memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan
berikutnya;
c.
Wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah
berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan
perjanjian pemisahan penghasilan dan harta;
d.
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha
berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri
ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
e.
Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi kedudukan wajib pajak dengan mengisi formulir pendaftaran
dan melampirkan persyaratan administrasi. Selain mendatangi Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak Orang
Pribadi dapat pula mendaftarkan diri secara online melalui e-registration di website Direktorat Jenderal
Pajak www.pajak.go.id. Selain mendapatkan NPWP, Wajib
Pajak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan kepadanya akan diberikan Nomor Pengkuhan Pengusaha Kena
Pajak (NPPKP).
5.2
Dasar Hukum PPh WPOP
1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
2. Undang-Undang No. 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan;
3. Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Atau Pasal 26
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa Dan Kegiatan Orang Pribadi.
5.3 Jenis – Jenis PPh WPOP
Berdasarkan penghasilan yang diterima oleh orang
pribadi, maka wajib pajak orang pribadi dapat dibagi menjadi :
a.
Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari pekerjaan
Contoh
: Pegawai swasta, Pegawai BUMN dan PNS.
b.
Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari Usaha.
Contoh
: Pengusaha toko emas, Pengusaha Industri Mie Kering
c.
Wajib pajak orang pribadi yang
semata-mata menerima penghasilan dari Pekerjaan bebas.
Contoh
: Dokter, Notaris, Akuntan, Konsultan
d.
Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan lain yang tidak
bersifat final (sehubungan dengan pemodalan).
Contoh
: Bunga pinjaman, royalti, sewa (yang bukan usaha pokoknya)
e.
Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang bersifat
final.
Contoh
: Bunga deposito, hadiah undian.
f.
Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang
bukan objek pajak.
Contoh
: bantuan, sumbangan
g.
Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar
negeri.
Contoh
: bunga, royalti dari luar negeri (PPh Pasal 24)
h.
Wajib pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari berbagai sumber.
Contoh
: Pegawai swasta tetapi juga mempunyai usaha rumah makan, PNS tetapi membuka
praktek dokter.
5.4 Perbedaan PPh WPOP yang
melakukan usaha dan yang tidak melakukan usaha/ pekerjaan
1.
Kewajiban Pajak Bagi Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas
a)
WPOP Karyawan
yang hanya memperoleh penghasilan dari satu
pemberi kerja.
Wajib
Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
(berstatus sebagai karyawan) dan hanya bekerja pada satu pemberi kerja tidak
memiliki kewajiban untuk membayar pajak sendiri setiap bulan atas penghasilan yang
diterima/ diperoleh seubungan dengan pekerjaan. WP Orang Pribadi ini juga tidak
memiliki kewajiban untuk membuat laporan (Surat Pemberitahuan Masa) ke Kantor
Pelayanan Pajak setiap bulan.
Perusahaan
tempat wajib pajak bekerja (pemberi kerja) memiliki kewajiban untuk memotong
pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan yang dibayarkan/terutang kepada
karyawannya setiap bulan dan menyetorkannya ke Kas Negar serta melaporkannya ke kantor pelayanan pajak setempat. Oleh karena itu gaji yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi yang berstatus sebagai karyawan adalah gaji bersih setelah dipotong pajak penghasilan. Pajak yang terutang atas Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dikenal dengan istilah PPh Pasal 21.
karyawannya setiap bulan dan menyetorkannya ke Kas Negar serta melaporkannya ke kantor pelayanan pajak setempat. Oleh karena itu gaji yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi yang berstatus sebagai karyawan adalah gaji bersih setelah dipotong pajak penghasilan. Pajak yang terutang atas Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dikenal dengan istilah PPh Pasal 21.
Kewajiban
yang harus dilakukan oleh WPOP yang berstatus sebagai karyawan adalah
menyampaikan laporan tahunan (menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi) dengan
formulir yang telah disediakan. (Form 1770-S). Apabila wajib pajak orang
pribadi ini tidak menerima/memperoleh penghasilan lain selain dari penghasilan
yang diperoleh dari satu pemberi kerja, maka pada saat menyampaikan SPT Tahunan
tidak akan terdapat PPh yang kurang dibayar. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini
paling lambat harus dilaporkan paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak
(pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya). Jika Wajib Pajak terlambat
menyampaikan SPT 1770-S tersebut maka akan dikenakan sanksi administrasi atas
keterlambatan sebesar Rp 100.000,-. Besarnya sanksi keterlambatan penyampaian
SPT PPh OP ini dalam RUU Pajak th 2005 diusulkan menjadi sebesar Rp 250.000,-
Bagi
wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya
tidak benar, atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak
benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara diancam dengan
sanksi pidana dan denda. Bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan
SPT tetapi isinya tidak benar karena kealpaannya, diancam dengan sanksi pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Sementara
bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan
atau menyampaikan surat pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugaian pada pendapatan
negara dipidana dengan pidana penjara paling lama enam (enam) tahun dan denda
paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
b) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang bukan obyek PPh Final.
b) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang bukan obyek PPh Final.
Bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain selain dari satu pemberi
kerja, baik karena bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja maupun memiliki
penghasilan lain selain dari pekerjaan dan penghasilan lain tsb bukan merupakan
obyek PPh final, maka selain diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan (SPT
1770-S) juga memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh pasal 25
setiap bulan.
Besarnya
PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib pajak dihitung berdasarkan PPh yang
terutang dalam SPT Tahunan tahun sebelumnya setelah dikurangi dengan pemotongan
yang dilakukan pihak lain yang dapat dikreditkan dan dibagi 12 (dua belas).
Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 25 adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Jika jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pembayaran Angsuran PPh pasal 25 ini, wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Apabila jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 25 harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Apabila wajib pajak terlambat melakukan pembayaran PPh pasal 25, maka akan dikenakan sanksi bunga sebesar 2%/bulan, maksimum 24 bulan (48%). Sedangkan atas keterlambatan
penyampaian SPT Masa PPh 25 akan dikenakan sanksi sebesar Rp50.000/ SPT Masa. Seperti halnya dengan sanksi keterlambatan penyampaian SPT Tahunan, dalam RUU Perpajakan th 2005 besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT masa diusulkan
menjadi sebesar Rp 100.000,-/ SPT Masa.
Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 25 adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Jika jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pembayaran Angsuran PPh pasal 25 ini, wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Apabila jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 25 harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Apabila wajib pajak terlambat melakukan pembayaran PPh pasal 25, maka akan dikenakan sanksi bunga sebesar 2%/bulan, maksimum 24 bulan (48%). Sedangkan atas keterlambatan
penyampaian SPT Masa PPh 25 akan dikenakan sanksi sebesar Rp50.000/ SPT Masa. Seperti halnya dengan sanksi keterlambatan penyampaian SPT Tahunan, dalam RUU Perpajakan th 2005 besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT masa diusulkan
menjadi sebesar Rp 100.000,-/ SPT Masa.
c) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang merupakan obyek PPh Final.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain selain dari satu pemberi kerja, dan memiliki penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final, maka selain diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal 4 (2).
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain selain dari satu pemberi kerja, dan memiliki penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final, maka selain diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal 4 (2).
Jenis
penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran PPh-nya wajib dilakukan
sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib pajak) adalah sebagai berikut :
- Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
WPOP Karyawan yang menerima/memperoleh penghasilan daritransaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan membayar PPh final pasal 4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi pegalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini adalah sebesar 5% dari nilai yang tertinggi antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan nilai NJOP.
- Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang dierima/diperoleh oleh WPOP karyawan dari kegiatan persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan. Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka pelunasan PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima penghasilan) .
Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
- Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ;
- Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
WPOP Karyawan yang menerima/memperoleh penghasilan daritransaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan membayar PPh final pasal 4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi pegalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini adalah sebesar 5% dari nilai yang tertinggi antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan nilai NJOP.
- Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang dierima/diperoleh oleh WPOP karyawan dari kegiatan persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan. Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka pelunasan PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima penghasilan) .
Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
- Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ;
Penghasilan yang
diterima/diperoleh oleh WPOP Karyawan dari kegiatan Jasa Konstruksi (sebagai
usaha sampingan misalnya), Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong pajak,
maka PPh-nya wajib dibayar sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa
merupakan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya
dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong pajak (Pemakai jasa)
wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh final pasal 4 (2) yang terutang
atas penghasilan dari kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :
a) Jasa Perencanaan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari jumlah bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi ==> 2% (dua persen) dari jumlah bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari jumlah bruto.
a) Jasa Perencanaan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari jumlah bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi ==> 2% (dua persen) dari jumlah bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari jumlah bruto.
2. Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak
Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas.
Bagi wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan kegiatan Usaha atau pekerjaan bebas, setelah terdaftar di kantor
pelayanan pajak dan memperoleh NPWP maka
akan memiliki kewajiban pajak yang harus dilaksanakan. Wajib Pajak Orang
Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan
bebas selaku pemberi kerja selain diwajibkan untuk membayar dan melaporkan
pajak yang terutang atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan dan
melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada
karyawannya.
Dalam hal WPOP yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas telah dikukuhkan sebagai Pengusaha kena pajak juga
memiliki kewajiban dibidang PPN. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang
telah ditunjuk oleh dirjen pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23 dan PPh Final
pasal 4 (2), juga memiliki kewajiban dibidang PPh 23 dan PPh Final Pasal 4
(2). Kewajiban yang harus dipenuhi oleh
wajib pajak Orang Pribadi yang melakukann kegiatan usaha/pekerjaan bebas
setelah memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :
1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)
1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)
Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan
memiliki NPWP, maka memiliki kewajiban
untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa/ bulanan ke kantor pelayanan
pajak tempat wajib pajak terdaftar. Jenis SPT Masa yang harus disampaikan oleh
wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas terdiri
dari :
a. SPT
Masa PPh Pasal 25
PPh
Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu, setelah dikurangi dengan PPh yang telah
dipotong/dipungut oleh pihak lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri
yang dapat dikreditkan; dibagi 12 (dua belas) .
Bagi
wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan
bebas dalam tahun pajak berjalan (Wajib Pajak baru), besarnya Angsuran PPh
Pasal 25 dihitung berdasarkan Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan
penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12
(dua belas).
Batas
waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15 bulan berikutnya.
Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur, maka pembayaran Ph Pasal 25 dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas untuk menyampaikan SPT
Masa PPh Pasal 25 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan
berikutnya). Apabila tanggal 20 jatuh pada hari
libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Hari
libur meliputi hari libur nasional dan hari- hari yang ditetapkan sebagai hari
cuti bersama oleh pemerintah.
Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT Masa PPh Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah satu SPT Masa yang wajib disampaikan oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas, meskipun tidak terdapat pembayaran (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.
b. SPT Masa PPh Pasal 21/26
Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT Masa PPh Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah satu SPT Masa yang wajib disampaikan oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas, meskipun tidak terdapat pembayaran (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.
b. SPT Masa PPh Pasal 21/26
PPh
pasal 21/26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak
orang pribadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-undang PPh, PPh Pasal 21
wajib dipotong, disetor dan dilaporkan oleh pemotong pajak, yaitu : pemberi
kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan
penyelenggara kegiatan.
Wajib
pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi
kerja yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh wajib pajak
orang pribadi; wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26. Batas waktu penyetoran PPh Pasal 21/26 adalah
tanggal 10 bulan berikutnya, namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka
penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas waktu
pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa
pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka
penyampaian SPT Masa PPh pasal 21/26 harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya.
SPT
Masa PPh Pasal 21/26 juga merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh WajibPajak
Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas meskipun tidak
terdapat penyetoran PPh Pasal 21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh
Pasal 21/26, maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk
satu SPT Masa. Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan pemotongan,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal
26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No KEP- 545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.
c. SPT Masa PPN
26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No KEP- 545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.
c. SPT Masa PPN
Bagi
Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) diwajibkan
untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak atas Penjualan Barang
Mewah (PPn BM) serta menyampaikan SPT Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN
adalah setiap tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian
SPT Masa PPN adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan
berikutnya). Seperti halnya pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran
PPN jatuh pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas waktu pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPN wajib dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas waktu pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPN wajib dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
SPT
Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang telah
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meskipun Nihil. Apabila Wajib yang
telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tidak menyampaikan atau terlambat
menyampaikan SPT Masa PPN maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp
50.000 untuk satu SPT Masa.
Fungsi
Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah Pajak PPN dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang :
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
b. Pembayaran
atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak
dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Ketentuan mengenai PPN
diatur dalam Undang-undang no 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana terakhir
telah diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta peraturan pelaksanaannya.
d. SPT Masa PPh Pasal 23/26
d. SPT Masa PPh Pasal 23/26
Direktur
Jenderal Pajak dapat menunjuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagai pemotong
Pajak Penghasilan Pasal 23. Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu tersebut terdiri
dari :
1. Akuntan, Arsitek, Dokter,
Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara,
dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
2. Orang pribadi yang
menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri tertentu tersebut diatas yang telah ditunjuk Dirjen Pajak,
akan mendapatkan surat Penunjukan Sebagai Pemotong PPh Pasal 23 dari Kantor Pelayanan
Pajak tempat WP teraftar. WPOP tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemotong
PPh 23, Wajib memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa. Apabila
terdapat pembayaran/pembebanan biaya berupa sewa, maka WPOP tertentu yang telah
ditunjuk sebagai pemotong PPh 23 oleh Dirjen pajak, diwajibkan untuk memotong,
menyetor dan melaporkan PPh 23 yang terutang atas pembayaran sewa tersebut.
Sesuai dengan ketentuan
pasal 26 undang-undang PPh, atas penghasilan berupa :
a.
Deviden;
b.
bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang;
c.
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d.
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e.
hadiah dan penghargaan;
f.
pensiun dan pembayaran berkala lainnya ; yang diterima atau diperoleh oleh Wajib
Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar
20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.
Apabila WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas melakukan transaksi
dengan wajib pajak luar negeri sehubungan dengan penghasilan tersebut diatas maka
memiliki kewajiban untuk memotong, menyetor dan
melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 26).
Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh adalah tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan berikutnya. Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal 23/26 jatuh pada hari libur maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Namun apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka laporan harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP apabila terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26. Dengan demikian tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.
melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 26).
Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh adalah tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan berikutnya. Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal 23/26 jatuh pada hari libur maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Namun apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka laporan harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP apabila terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26. Dengan demikian tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.
e.
SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)
1)
PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib pajak sendiri
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang memperoleh penghasilan yang merupakan obyek PPh final, maka diwajibkan untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal 4 (2) yang tertuang atas penghasilan tersebut.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang memperoleh penghasilan yang merupakan obyek PPh final, maka diwajibkan untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal 4 (2) yang tertuang atas penghasilan tersebut.
Jenis penghasilan lain
yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran PPh-nya wajib dilakukan sendiri
oleh penerima penghasilan (Wajib pajak) adalah sebagai berikut :
- Penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan;
WPOP yang menerima/memperoleh penghasilan dari transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan membayar PPh final pasal 4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi pegalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini adalah sebesar 5% dari nilai yang tertinggi antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan nilai NJOP.
WPOP yang menerima/memperoleh penghasilan dari transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan membayar PPh final pasal 4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi pegalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini adalah sebesar 5% dari nilai yang tertinggi antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan nilai NJOP.
- Penghasilan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan.
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan.
Apabila penyewa adalah
pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka pelunasan PPh final atas transaksi ini
dilakukan melalui pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib
memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final pasal 4 (2) kepada wajib
pajak (penerima penghasilan) .
Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
- Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan Jasa Konstruksi, PPh yang terutang atas penghasilan tersebut wajib dibayar sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong pajak (Pemakai jasa) wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh final pasal 4 ayat (2) yang terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :
1. 4% (empat persen) darièa) Jasa Perencanaan Konstruksi jumlah bruto;
2. 2% (dua persen) darièb) Jasa Pelaksanaan Konstruksi jumlah bruto;
3. 4% (empat persen) darièc) Jasa Pengawasan Konstruksi jumlah bruto.
2) PPh final atas penghasilan yang terutang/dibayarkan kepada pihak lain.
Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
- Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan Jasa Konstruksi, PPh yang terutang atas penghasilan tersebut wajib dibayar sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong pajak (Pemakai jasa) wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh final pasal 4 ayat (2) yang terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :
1. 4% (empat persen) darièa) Jasa Perencanaan Konstruksi jumlah bruto;
2. 2% (dua persen) darièb) Jasa Pelaksanaan Konstruksi jumlah bruto;
3. 4% (empat persen) darièc) Jasa Pengawasan Konstruksi jumlah bruto.
2) PPh final atas penghasilan yang terutang/dibayarkan kepada pihak lain.
Dirjen
Pajak dapat menunjuk Wajib pajak Orang Pribadi tertentu sebagai pemotong PPh
Final Pasal 4 (2) atas transaksi persewaan Tanah dan atau bangunan. Wajib Pajak
Orang Pribadi tertentu yang dapat ditunjuk sebagai pemotong PPh atas transaksi
persewaan tanah dan atau bangunan oleh DJP adalah:
·
Akuntan, arsitek, dokter, Notaris,
Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara,
dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas yang telah terdaftar sebagai
Wajib Pajak Dalam Negeri,
·
Orang pribadi yang menjalankan usaha
yang menyelenggarakan pembukuan yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam
negeri.
WPOP
tertentu yang telah mendapat surat penunjukan sebagai pemotong Pajak atas
penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan dari KPP tempat WP terdaftar
memiliki kewajiban untuk memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh final atas penghasilan
dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan yang dibayarkan atau terutang kepada
pihak lain. PPh yang terutang atas transaksi persewaan tanah dan bangunan tersebut,
wajib disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan wajib dilaporkan
ke kantor pelayanan pajak tempat Wajib pajak (pemotong) terdaftar paling lambat
tanggal 20 bulan berikutnya.
SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak apabila terdapat transaksi yang berhubungan dengan obyek PPh final, sehingga tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.
SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak apabila terdapat transaksi yang berhubungan dengan obyek PPh final, sehingga tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.
2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)
a. SPT
Tahunan PPh Badan (SPT 1770)
Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak
diwajibkan untuk menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Orang Pribadi – SPT 1770).
SPT Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak/tahun
buku. Apabila tahun buku sama dengan tahun takwim maka SPT Tahunan wajib disampaikan
paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib
Pajak adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
·
Pembayaran atau pelunasan pajak yang
telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak
lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
·
Penghasilan yang merupakan objek pajak
dan atau bukan objek pajak;
·
Harta dan kewajiban;
b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)
Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (SPT
1770), Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas
selaku pemotong PPh pasal 21 juga diwajibkan
menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 21. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun
takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh
Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.
Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani,
dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Surat Pemberitahuan
Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat -lambatnya tanggal 31 Maret
tahun takwim berikutnya. Batas waktu pelaporan ini berlaku juga bagi wajib
pajak yang tahun bukunya berbeda dengan tahun takwim.
5.5 Pengertian pembukuan, dan norma
perhitungan penghasilan neto
Pembukuan adalah suatu proses
pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi
keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan
menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode
Tahun Pajak tersebut. Pencatatan yaitu pengumpulan data yang dikumpulkan secara
teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto
sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan
yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
A.
Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan
1.
Wajib Pajak (WP)
Badan;
2.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya
dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (Empat milyar delapan ratus
juta rupiah).
B. Yang Wajib
Menyelenggarakan Pencatatan
1. Wajib Pajak
Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran
brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan
ratus juta rupiah), dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
2. Wajib Pajak
Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
C. Syarat-Syarat
Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
1.
Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan
usaha yang sebenarnya.
2.
Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing
yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
3.
Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas.
4.
Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
5.
Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang.
D. Syarat-Syarat
Penyelenggaraan Pencatatan
1.
Pencatatan harus menggambarkan antara lain :
a.
Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima
dan/atau diperoleh;
b.
Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat final.
2.
Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha,
pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha
dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.
3.
Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP orang pribadi harus
menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.
E. Tujuan Penyelenggaraan
Pembukuan/Pencatatan
Tujuannya adalah
untuk mempermudah:
1. Pengisian SPT;
2. Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak;
3. Penghitungan PPN
dan PPnBM;
4. Penyelenggaraan
pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan
usaha/pekerjaan bebas.
F. Pembukuan Dalam Bahasa
Asing Dan Mata Uang Selain Rupiah
Wajib Pajak yang diperkenankan menyelenggarakan pembukuan
dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah yaitu bahasa
Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat adalah :
1. Wajib Pajak dalam
rangka Penanaman Modal Asing yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan
ketentuan Peraturan perundang-undangan Penanaman Modal Asing;
2. Wajib Pajak dalam
rangka Kontrak Karya, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan kontrak
dengan Pemerintah RI sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
Perundang-undangan Pertambangan selain pertambangan minyak dan gas bumi;
3. Wajib Pajak dalam
rangka Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi;
4. Bentuk Usaha
Tetap, yaitu bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
Undang-Undang Pajak Penghasilan atau menurut Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang terkait;
5. Wajib Pajak yang
mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar
negeri;
6. Kontrak Investasi
Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana dalam denominasi mata uang Dollar
Amerikat Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan
Pendaftaran dari Badan Pengawasa Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal;
7. Wajib Pajak yang
berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan
anak (subsidiary company) yang dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan induk
(parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b Undang- Undang Pajak Penghasilan.
G. Tata Cara Pengajuan
Penyelenggaraan Pembukuan Dalam Bahasa Asing Dan Mata Uang Selain Rupiah
Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris
dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat oleh WP harus terlebih dahulu
mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan, kecuali WP dalam rangka Kontrak
Karya atau WP dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama. Izin tertulis dapat
diperoleh WP dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah,
paling lambat 3 (tiga) bulan :
1.
Sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan
satauan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai;
2.
Sejak tanggal pendirian bagi WP baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak
pertama.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan
keputusan atas permohonan tersebut paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan
dari WP diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan
Kepala Kantor Wilayah belum memberikan keputusan maka permohonan WP tersebut
dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan
menerbitkan keputusan pemberian izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan
menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uangan Dollar Amerika Serikat.
WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak
Kerja Sama yang sejak pendiriannya maupun yang akan menyelenggarakan pembukuan
dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat,
wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak
tempat WP terdaftar paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pendirian (bagi
WP yang sudah menyelenggarakan sejak pendiriannya) atau 3 (tiga) bulan sebelum
tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan
mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai (bagi WP yang belum menyelenggarakan
sejak pendiriannya).
WP yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika
Serikat namun merencanakan untuk tidak memanfaatkan izin tersebut wajib
menyampaikan pemberitahuan pembatalan secara tertulis ke KPP dalam hal Tahun
Pajak sebagaimana tercantum dalam surat izin belum dimulai dan pemberitahuan
tersebut harus sudah diterima oleh KPP sebelum Tahun Pajak tersebut dimulai.
Apabila penyelenggaraan pembukuan tersebut sudah dimulai,
maka wajib mengajukan permohonan pembatalan secara tertulis ke KPP paling lama
3 (tiga) bulan setelah tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan
bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai.
Bagi WP Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang telah
memberitahukan ke KPP untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan
bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, namun WP tersebut
akan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan satuan
mata Rupiah, wajib mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah paling
lama 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan
bahasa Indonesia dan satuan mata uang Rupiah tersebut dimulai.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan
keputusan atas permohonan pembatalan penyelenggaraan pembukuan dengan
menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan dari WP diterima
secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Kepala Kantor
Wilayah belum memberikan keputusan, maka permohonan dianggap diterima. WP yang
mengajukan permohonan tersebut tidak diperbolehkan lagi menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika
Serikat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak izin tersebut dicabut.
H. Tempat Penyimpanan
Buku/Catatan/Dokumen
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau secara program on-line wajib disimpan selama 10
(sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal
Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
Perubahan Tahun Buku Dan Metode Pembukuan Perubahan terhadap metode pembukuan
dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
Norma perhitungan penghasilan neto
Dasar Hukumnya yaitu :
- Pasal 14 UU Nomor 36 Tahun 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
- KEP-536/PJ/2000 (berlaku sejak tahun pajak 2001) tentang Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) untuk Wajib Pajak (WP) yang dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan
- PER-4/PJ/2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang petunjuk pelaksanaan pencatatan bagi WP Orang Pribadi (OP)
Besarnya Norma
- Norma yang digunakan adalah norma berdasarkan kota wilayah usaha
- Yang dimaksud 10 ibukota propinsi: Medan, Jakarta, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Manado, Makassar, Denpasar, Pontianak.
- Kota propinsi lainnya adalah ibukota propinsi selain 10 yang disebutkan.
- Daerah lainnya adalah daerah selain yang dimaksud diatas.
Yang Dapat Menggunakan Norma
Penghitungan adalah Wajib
Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun
pajak yang bersangkutan (Pasal 14 ayat (2) UU PPh)
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender
kecuali bila WP menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Kewajiban :
- Menyampaikan surat perberitahuan penggunaan norma kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. (Pasal 14 ayat (2) UU PPh). Bagi yang tidak menyampaikan dianggap memilih menggunakan pembukuan. (UU PPh Pasal 14 ayat 4).
- Menyelenggarakan pencatatan Peredaran Usaha sesuai format Lampiran I PER-4/PJ/2009.
Sanksi Menggunakan Norma Penghitungan Tanpa
Pemberitahuan
Bagi
yang tetap menggunakan Norma padahal tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
Penggunaan Norma dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50%
(lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam
tahun pajak yang bersangkutan. Pasal 3 ayat 2 KEP-536/PJ./2000.
Norma Petugas Dinas Luar Asuransi, Distributor
MLM/Direct Selling
- Petugas dinas luar asuransi = norma untuk pekerjaan bebas bidang profesi lainnya
- 10 ibukota pripinsi = 50%
- Kota propinsi lainnya = 47,5 %
- Daerah lainnya = 45%
- Distributor perusahaan MLM/direct selling diklasifikasikan menjadi 2 jenis :
- penghasilan atas penjualan barang = norma untuk Pedagang eceran barang hasil indistri pengolahan.
- 10 ibukota pripinsi = 30%
- Kota propinsi lainnya = 25 %
- Daerah lainnya = 20%
- penghasilan atas pengembangan jaringan : Pekerjaan bebas bidang profesi lainnya.
- 10 ibukota pripinsi = 50%
- Kota propinsi lainnya = 47,5 %
- Daerah lainnya = 45%
5.6 Pengertian laporan keuangan dan koreksi fiscal
Laporan keuangan adalah catatan
informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan
kinerja perusahaan tersebut. Laporan keuangan adalah bagian dari proses pelaporan
keuangan.
Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi :
- Neraca
- Laporan laba rugi
- Laporan perubahan ekuitas
- Laporan perubahan posisi keuangan yang dapat disajikan berupa laporan arus kas atau laporan arus dana
- Catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan
Koreksi
Fiskal Untuk keperluan perpajakan
wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan
berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada waktu mengisi SPT
Tahunan PPh terlebih dahulu harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal. Koreksi
fiskal meliputi pengakuan pendapatan dan biaya yang dapat berupa koreksi
positif dan koreksi negatif.
v Koreksi Fiskal
Positif
Koreksi Fiskal Positif adalah
koreksi/penyesuaian yang akan mengakibatkan meningkatnya laba kena pajak yang
pada akhirnya akan membuat PPh Badan Terhutangnya juga akan meningkat.
Koreksi fiskal positif diantaranya:
Koreksi fiskal positif diantaranya:
a. Biaya yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan
usaha perusahaan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara pendapatan
b. Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang PKP
c. Biaya yang diakui lebih kecil, seperti penyusutan,
amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan menurut WP lebih tinggi
d. Biaya yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan
objek pajak
e. Biaya yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan
PPh Final
v Koreksi Fiskal
Negatif
adalah koreksi/penyesuaian yang
akan mengakibatkan menurunnya laba kena pajak yang membuat PPh badan
terhutangnya juga akan menurrun.
Koreksi fiskal negatif diantaranya :
Koreksi fiskal negatif diantaranya :
a. Biaya yang diakui lebih besar, seperti penyusutan menurut
WP lebih rendah, selisih amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan pengakuannya
b. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang bukan
merupakan objek pajak
c. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang sudah
dikenakan PPh Final
Perbedaan Koreksi Fiskal Menurut
PSAK dan UU Pajak :
Terdapat perbedaan dalam perlakuan penetapan pendapatan dan
biaya menurut Undang-Undang Perpajakan Nomor 17 Tahun 2000 dengan Standar
Akuntansi Keuangan sebagai akibat dari adanya beda tetap dan beda sementara;
perlakuan akuntansi terhadap perbedaan tersebut perlu dilakukan rekonsiliasi
antara laporan keuangan komersil dengan laporan keuangan fiskal; dan pengaruh
perbedaan tersebut terhadap laporan keuangan yaitu pada besarnya jumlah pajak
terutang dan jumlah laba usaha.
A. Beda
Tetap
Bagi perusahaan: semua pemasukan adalah pendapatan yang akan menambah laba
kena pajak , dan semua pengeluaran adalah beban yang akan mengurangi laba kena
pajak.
Bagi Ditjend Pajak: tidak semua pemasukan adalah faktor penambah laba kena pajak, ada beberapa jenis pendapatan yang bukan merupakan faktor penambah laba kena pajak karena pendapatan tersebut sudah dikenakan pajak bersifat final, dan tidak semua pengeluaran adalah faktor pengurang laba kena pajak karena ada beberapa jenis pengeluaran yang sesungguhnya bukan merupakan bagian dari kegiatan perusahaan (sumbangan, entertain tanpa daftar normatif). Di dalam Akuntansi Perpajakan perbedaan ini disebut dengan BEDA TETAP (Permanent Difference).
Bagi Ditjend Pajak: tidak semua pemasukan adalah faktor penambah laba kena pajak, ada beberapa jenis pendapatan yang bukan merupakan faktor penambah laba kena pajak karena pendapatan tersebut sudah dikenakan pajak bersifat final, dan tidak semua pengeluaran adalah faktor pengurang laba kena pajak karena ada beberapa jenis pengeluaran yang sesungguhnya bukan merupakan bagian dari kegiatan perusahaan (sumbangan, entertain tanpa daftar normatif). Di dalam Akuntansi Perpajakan perbedaan ini disebut dengan BEDA TETAP (Permanent Difference).
B.
Beda Waktu/Beda Sementara
Perbedaan lainnya adalah perbedaan
yang diakibatkan karena bedanya saat pengakuan (waktu pengakuan) baik itu
terhadap pendapatan maupun beban (pendapatan/beban tangguhan), juga akibat
perbedaan beban penyusutan dimana pihak Ditjend Pajak menggunakan metode
penyusutan Garis Lurus (Straight Line Method) sementara perusahaan mungkin
menggunakan metode penyusutan yang lain, yang oleh karenanya mengakibatkan
adanya perbedaan alokasi beban penyusutan. Prakiraan Umur ekonomis atas aktiva
tetap juga turut memberi kontribusi atas perbedaan tersebut. Dengan kata lain
perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi komersial dengan ketentuan
fiskal. Dalam Akuntansi Perpajakan ini disebut dengan BEDA WAKTU
(Time Difference).
5.7 Pengertian kredit pajak dan variable – variable dalam perhitungan
PPh orang pribadi
Pengertian kredit pajak adalah
memperhitungkan pajak penghasilan yang telah dibayar atau dipungut di muka
dengan jumlah pajak yang terutang pada akhir tahun pajak. Sebagaimana telah
diketahui, bahwa wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak pada saat penghasilan
diperoleh atau diterima dan bersifat tidak final (dapat sebagai kredit pajak),
terkait dengan PPh pasal 21, PPh pasal 22 dan PPh pasal 23.
Sedangkan segala bentuk penghasilan yang sudah dikenakan
pajak yang bersifat final, tidak boleh diperlakukan sebagai kredit pajak.
Demikian pula untuk pajak penghasilan yang dipungut atau dibayar di luar negeri
oleh wajib pajak dalam negeri. Pajak penghasilan yang telah dipungut di luar
negeri dapat dikurangkan dengan pajak penghasilan yang terhutang di Indonesia,
bila telah ada perjanjian kerjasama timbal balik (tax treaty) di bidang
perpajakan antara Indonesia dengan Negara lain. Bila belum ada perjanjian
pajak, maka wajib pajak tidak dapat melakukan kredit pajak. Perhitungan
besarnya pajak yang dapat dikreditkan terhadap pajak terutang atas seluruh
penghasilan yang telah dipungut di luar negeri diatur dalam pasal 24.
DASAR HUKUM
1.
UU
No. 6/1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 18/2009 (UU KUP).
2.
UU
No. 7/1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 36/2008 (UU PPh).
3.
Keputusan
Menteri Keuangan No.164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri
Perlakuan Dalam Praktek Berdasarkan pasal 24 ayat 1 dan ayat
2 UU PPh dinyatakan bahwa:
a. Pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh
wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang
berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
b. Besarnya kredit pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang
terutang berdasarkan Undang-undang ini.
Agar
dapat melakukan kredit pajak dengan baik, ada baiknya kita perlu memperhatikan
dasar pengakuan penghasilan. Dari dua ayat tadi kita dapat peroleh pengertian
bahwa:
1.
Penghasilan yang “diterima” mengindikasikan bahwa penghasilan diakui pada saat
dibayar (cash basis), sedangkan penghasilan “diperoleh” menunjukkan
penghasilan diakui pada saat terjadinya walaupun uang belum diterima (accrual
basis). Pajak penghasilan di luar negeri ini bisa jadi telah dibayar (cash
basis) atau belum dibayar atau terutang (accrual basis) oleh wajib
pajak
2. Pajak
yang telah dibayar atau terutang di luar negeri dapat digunakan sebagai
pengurang (kredit pajak) pajak yang terutang atas seluruh penghasilan pada
tahun pajak yang sama
3. Batas
kredit ditentukan menurut undang-undang
4.
Besarnya kredit pajak tidak boleh melebihi jumlah batas kredit pajak
Penggabungan Penghasilan
Wajib
pajak menggabungkan (menjumlahkan) penghasilan yang diterima atau diperoleh di
luar negeri dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh didalam negeri,
guna menentukan jumlah pajak penghasilan yang terutang pada tahun pajak
berdasarkan tarif normal (pasal 17). Penggabungan penghasilan yang berasal dari
luar negeri dilakukan dengan ketentuan berikut :
a. Untuk penghasilan dari usaha
dilakukan penggabungan dengan penghasilan dalam tahun pajak diperolehnya
penghasilan tersebut
b. Untuk penghasilan lainnya dilakukan
penggabungan dengan penghasilan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan
tersebut
c. Untuk penghasilan berupa dividen,
dilakukan penggabungan dengan penghasilan dalam tahun pajak pada saat perolehan
dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Indonesia menganut kredit pajak dengan metode ordinary
credit. Kredit pajak luar negeri lebih lanjut diatur berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan No. 164/KMK.03/2002. Pajak penghasilan luar negeri yang dapat
dikreditkan hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh oleh wajib pajak. Apabila pajak atas penghasilan dari
luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan,
maka pajak yang terutang menurut UU ini harus ditambah dengan jumlah tersebut
pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.Apabila penghasilan luar
negeri berasal dari beberapa Negara, maka pengitungan kredit pajak dilakukan
untuk masing-masing Negara. Kredit pajak dihitung dengan perbandingan antara
penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan kena pajak dikalikan dengan
pajak yang terutang atas Penghasilan kena pajak, paling tinggi sama dengan
pajak yang terutang atas Penghasilan Kena pajak dalam hal Penghasilan kena
pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.
JENIS-JENIS KREDIT PAJAK yaitu :
1. Kredit Pajak PPh Pasal 22.
2. Kredit Pajak PPh Pasal 23.
3. Kredit Pajak PPh Pasal 24.
4. Kredit Pajak PPh Pasal 25.
5. Pajak Dibayar Dimuka Lainnya
REFRENSI :
Komentar
Posting Komentar